top of page

Sab, 03 Des

|

Kota Jakarta Selatan

Perencanaan Kota Untuk Siapa ? sebuah diskusi “9th Urban Social Forum

Registration is closed
See other events
Perencanaan Kota Untuk Siapa ? sebuah diskusi “9th Urban Social Forum
Perencanaan Kota Untuk Siapa ? sebuah diskusi “9th Urban Social Forum

Time & Location

03 Des 2022, 09.00 – 17.00

Kota Jakarta Selatan, Jalan Sunan Kalijaga no. 1–3–5 DKI Jakarta, Jakarta Selatan, Kebayoran Baru, RT.1/RW.1, Melawai, jakarta, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota

About the event

Urban Social Forum kembali menggelar forum diskusi, tepatnya pada Sabtu, 03 Desember 2022 berlokasi di Kala, Kalijaga, Melawai, Jakarta Selatan. USF sukses menggelar forumnya yang mana kali ini berjudul, “9th Urban Social Forum.” sebuah event forum diskusi isu strategis perkotaan dan seputar pertanyaan intrik sosial yang kerap menjadi bahan perbincangan. USF menggaet beberapa narasumber terpercaya dalam bidangnya dan mengajak masyarakat umum, yang mana merupakan bagian dari sebuah kota, untuk memperluas pola pikir dari berbagai sudut pandang para ahli.

Acara yang dimulai dari pukul 09:00 hingga 17:15 ini dibagi jadi beberapa sesi. Sesi pertama berupa Pleno Pembuka hingga Panel Ketiga sebagai penutup rangkaian acara.

Pleno Pembuka :   “Merawat Ruang Warga, Mewujudkan Kota untuk Semua”

Sebenarnya kota itu dibangun untuk siapa ?

Ketika kita membicarakan sebuah perencanaan kota yang inklusif dan kompleks tidak akan ada artinya kalau tidak dibutuhkan atau tidak dapat dipakai. Dalam ilmu perencanaan, sebuah perencanaan yang baik menjadikan masyarakat sebagai objek utama dan sebagai pengambil keputusan. Tentu saja ini erat pula kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia ini, “dari rakyat, untuk rakyat”, seperti itu. Namun seolah-olah semboyan itu dianggap angin belaka dalam iklim pengaduan Indonesia saat ini.

Civic Space atau secara garis besar ruang kebebasan publik beropini, adalah salah satu instrumen bagi pemerintah maupun masyarakat dalam menyamakan persepsi. Bagaimana bisa kinerja pemerintah berkembang bila masukan yang muncul malah ditindak pidanakan ? Seperti itulah, dengan UU ITE yang berlaku, civic space di Indonesia semakin menyempit, apalagi munculnya komunitas yang mengancam demokrasi. Ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Bu Tunggal Prawesti, seorang executive Director di Humanist and Social Innovation Foundation. Menurutnya, cara organisasi dalam menangani isu civic space khususnya terhadap kelompok rentan/minoritas adalah dengan memberikan dukungan. Untuk apa ? Dukungan yang diberikan terhadap kaum minoritas memberikan mereka semangat dan jadi jauh lebih berani.

Membahas isu soal kebebasan berpendapat,  penyampaian opini publik, kritik, dan saran pemberdayaan masyarakat juga bisa dilakukan melalui media film. Publik memang tidak akan pernah kehabisan akal dalam mengkritik. Bicara soal kritik mengkritik, saya yakin sebagian besar pembaca isu utama dari budaya mengkritik ini lagi-lagi ditunjukkan kepada pemerintah.

Dari rakyat, untuk rakyat.

Kembali lagi pada topik awal, penyampaian kritik yang menjadi topik sebuah film tidak hanya berisi kegelisahan atau ketidakpuasan publik. Tidak asing rasanya mendengar film-film edukatif bukan ? Sebut saja Sarah Adilah, Direktur Sinema Films, menyampaikan pendapatnya melalui forum ini. Banyak poin yang dapat disampaikan melalui film, menurutnya film bisa menjadi bahan pemberdayaan masyarakat pun bisa jadi mereka belajar mengenai sejarah tempat tinggal mereka. Dokumenternya yang berjudul “Neraka di Telapak Kaki,” merupakan sebuah inisiatif anak-anak muda di Palu dalam menyampaikan keresahan akan ruang hidup mereka yang telah dirusak.

Paparan materi selanjutnya disampaikan oleh Dhenok Pratiwi, Campaign Manager di Change.org. Berkembangnya ruang virtual harus ditanggapi dengan positif, menurutnya fenomena ini dapat dijadikan senjata untuk menyuarakan perubahan. Ia berharap ruang virtual ini dapat memperkuat gerakan dan berkontribusi dalam meluaskan ruang kewargaan. Tentu hal ini harus diiringi dengan semangat serta sikap optimis.

Siapa saja yang harus terlibat ? Iklim kritik mengkritik diutarakan bagi mereka yang merasakan ketidak puasan dan menyuarakan kegelisahan. Munculnya kritik membuka pandangan - pandangan baru yang menghasilkan perbaikan, oleh karena itu suara anak muda sebagai generasi penggerak selanjutnya dibutuhkan agar perencanaan kota dapat berlanjut.

Panel 1#  Inclusive Public Transport by Design: Merancang Transportasi Publik Inklusif dengan Pendekatan Partisipatif

Kembali mengulang statement awal pada pleno pembuka.

Transportasi publik untuk siapa ?

Fasilitas umum, seperti pada namanya harus dapat dipakai oleh semua kalangan. PT. Transportasi Jakarta menggaet komunitas GAUN dan ITDP dalam mewujudkan desain yang inklusif pada transportasi publik Jakarta. Dalam mewujudkan sebuah desain transportasi yang mengakomodasi secara keseluruhan, pentingnya pendapat user atau masyarakat sebagai bahan pertimbangan, pun dengan kaum disabilitas. PT Transportasi Jakarta telah membuat prototype di Lebak Bulus yang melibatkan pendapat kaum disabilitas.

Untuk mewujudkannya, perlu analisis profiling di setiap nodes. Tentu terdapat standar yang berlaku, namun pada eksistingnya perlu ditelaah kembali untuk menentukan standar sesuai dengan penggunaan dan pertimbangan area sekitar. Hal tersebut, lagi-lagi, tentu saja melibatkan partisipasi user  atau masyarakat melalui konsultasi publik (survei, sosialisasi, dsb.)

No one should left behind.

Perlu diingat bahwa kaum disabilitas juga termasuk bagian dari kita. Perencanaan transportasi publik sebagai salah satu komponen perkotaan harus mempertimbangkan seluruh aspek dan pendapat dari berbagai sudut pandang. Keberhasilan transportasi publik tidak hanya diukur pada satu titik saja ( modanya , haltenya) melainkan transportasi adalah sebuah linkage atau perjalanan, jadi harus melihat ke dalam perspektif yang lebih luas dan berfikir lebih jauh dalam melakukan perencanaannya.

Panel #2 Desain Kota yang Inklusif: Mengakomodasi Kota Informal yang Mewadahi Keragaman Kota

Mba Luna melalui PUPLA Project menceritakan mengenai kondisi Kamal Muara dan Kampung Nelayan yang berada di dalamnya. Kamal muara memiliki kondisi yang berbeda dengan Gang Z  yang diibaratkan seperti terpisah dengan Perkotaan Jakarta karena lokasinya yang berada di ujung utara Kota Jakarta. Kawasan ini memiliki warga yang mayoritas berasal dari Bugis dan memiliki sumber mata pencaharian yang berasal dari laut. Permasalahan lokasi ini adalah akibat adanya proyek reklamasi pantai di Utara Jakarta dan adanya pembangunan pabrik sehingga cukup berdampak pada perekonomian masyarakatnya. Karena hal tersebut, banyak yang beralih profesi menjadi jasa penyebrangan ke pulau seribu, atau beralih ke sektor wisata dengan menawarkan biaya penyebrangan yang lebih murah. Pada tahun 2018, akibat adanya arus informasi dan teknologi digital, kondisi kampung ini sempat dicat warna warni seperti kondisi kampung yang ada di Malang. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya masyarakatnya untuk dapat menarik minat pengunjung dan menjadikan Kampung Nelayan sebagai salah satu destinasi wisata.

Panel #3 Masa Depan Ruang Publik Jakarta

Kemunculan ruang publik bisa karena direncanakan (pemerintah, developer, dsb) tapi terwujudnya “ruang publik” menyangkut dengan keberlangsungan aktivitas yang berada di dalamnya. Ruang publik sesungguhnya tercipta dari keberagaman aktivitas yang diciptakan penggunanya, garis bawahi pada kata “keberagaman.” Karena itu terkadang ruang publik bisa terbentuk secara spontan, sebut saja event  Citayam Fashion Week kemarin.

Di Jakarta sendiri, ruang publik cenderung dimanfaatkan untuk leisure time pribadi. Benang merah atau pertimbangan utama pada kehadiran ruang publik ada pada usernya. Makanya, aksesibilitas menuju dan dalam ruang publik itu vital. Ruang publik harus memenuhi 3 dimensi yaitu, responsif, demokratis, dan universalitas.

Disebut responsif karena ia didesain memang untuk memenuhi “kebutuhan” dan dapat dipakai untuk berbagai aktivitas. Demokratis karena ia bisa dimanfaatkan siapa saja tanpa perbedaan sosial, ekonomi, dan perbedaan budaya. Ini penting, karena ruang publik adalah fasilitas umum, artinya ia “harus” terjangkau dan mengakomodasi semua kalangan. Tidak membatasi ras, biaya masuk yang murah, sarana dan prasarana peribadatan, elevasi untuk pengguna kursi roda, dan elemen penunjang lainnya. Kemudian yang terakhir adalah dimensi universalitas yang mana mengharuskan ruang publik untuk mempertimbangkan berbagai kelas dan status kebutuhan masyarakat, ramah disabilitas, lansia, perempuan, dan anak. Begitu pun dengan kenyamanan penggunanya.

Ruang Publik yang baik, menumbuhkan perasaan territorial  penggunanya, munculnya rasa kepemilikan mendorong sikap yang menjaga ruang publik itu sendiri. Maintenance terwujud tidak hanya dari pihak pengelola, tetapi para penggunanya juga turut menjaga kenyamanan dan keamanan ruang publik itu sendiri.

Ruang publik adalah bentuk sosial, karena itu dia bisa hadir atau tidak. Bisa jadi sifatnya temporal, seperti sebuah proyek yang diusung oleh LabTanya bersama warga kampung dimana para warga melakukan kegiatan memasak di area kampungnya sebagai ruang publik tetapi dengan membawa peralatan masak pribadi dari dalam ke luar rumah.

jalur pedestrian sebagai ruang milik publik khususnya bagi para pejalan kaki seringkali dijadikan jalan pintas pengguna motor untuk menghindari kemacetan. Selain itu, kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) di jalur pedestrian juga menjadi bukti kurangnya pemanfaatan ruang yang tepat. Tetapi, PKL bukanlah hama kota, solusi yang dapat diterapkan adalah menyediakan ruang untuk PKL.

Share this event

Event Info: Events
bottom of page