Meninjau Pengembangan Kawasan Transit Oriented Development (TOD) di Indonesia
- Loka Laboratorium and Community
- Oct 20, 2021
- 2 min read
Pengembangan kawasan TOD di Indonesia secara general menemui permasalahan dan tantangan pada 4 (empat) aspek yaitu: aspek regulasi; kelembagaan; pendanaan dan pembiayaan; dan perencanaan dan desain. Pada aspek regulasi, kendala yang terjadi adalah kurang komprehensifnya regulasi yang mengatur pelaksanaan pengembangan kawasan TOD, terdapat beberapa urusan yang belum diatur dalam regulasi yang sudah ada. Walaupun demikian, pemerintah daerah seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merilis regulasi untuk mengisi kekosongan urusan yang menjadi bagian pemerintah daerah, hal ini dapat dilakukan juga oleh pemerintah daerah lain. Pada aspek kelembagaan, kendala yang terjadi adalah tidak adanya aktor yang memimpin dalam pengelolaan kawasan TOD, sehingga pengembangan kawasan menjadi kurang optimal. Pada aspek pendanaan dan pembiayaan, kendala yang terjadi adalah sumber pendanaan untuk pengembangan kawasan belum jelas, sementara itu dalam pengembangan kawasan TOD banyak metode pembiayaan inovatif yang dapat dilakukan tetapi belum banyak stakeholder yang paham dengan mekanismenya. Pada aspek perencanaan dan desain, kendala yang terjadi adalah belum adanya panduan pengembangan kawasan yang jelas, hal ini biasanya dituangkan dalam panduan Panduan Rancang Kota (PRK) atau Urban Design Guideline (UDGL). Sementara itu kami juga menemui beberapa detail kondisi eksisting pengembangan kawasan TOD dari aspek perencanaan dan desain di beberapa lokasi yang menjadi studi kasus.

Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan kepada 4 (empat) studi kasus kawasan yang dikembangkan dengan konsep TOD, didapati bahwa dari aspek perencanaan dan desain yang berdasarkan prinsip 5D, secara umum seluruh kawasan yang menjadi studi kasus masih perlu meningkatkan berbagai elemen pendukung TOD dalam kawasannya. Untuk aspek density, kawasan-kawasan TOD tersebut masih belum memiliki kepadatan tinggi baik dari jumlah bangunan maupun intensitasnya, seperti di Kawasan TOD Dukuh Atas masih ada beberapa lahan kosong, kemudian hampir di seluruh studi kasus masih ditemukan bangunan-bangunan low-rise berupa hunian-hunian tapak. Untuk aspek diversity, beberapa studi kasus seperti Dukuh Atas dan Blok M sudah memiliki penggunaan lahan yang cukup beragam walaupun tetap perlu peningkatan penggunaan lahan campuran, tetapi untuk studi kasus seperti Fatmawati dan Lebak Bulus masih didominasi oleh penggunaan lahan untuk pemukiman penduduk.
Untuk aspek design, beberapa studi kasus seperti Dukuh Atas dan Blok M sudah memiliki desain kawasan yang berpihak kepada pejalan kaki, pengguna kendaraan tidak bermotor, dan pengguna transportasi umum melalui penyediaan fasilitas pejalan kaki dan fasilitas penunjangnya, walaupun masih terbatas di ruas jalan utama dan primary core (inti primer) kawasannya, tetapi pada studi kasus seperti Fatmawati dan Lebak Bulus fasilitas pejalan kaki masih belum tersedia dengan baik. Tetapi semua studi kasus belum memiliki struktur ruang kawasan yang baik dalam mendukung pejalan kaki, pengguna kendaraan tidak bermotor, dan pengguna transportasi umum. Untuk aspek distance to transit masing-masing studi kasus memiliki jumlah simpul transit yang berbeda, yang perlu menjadi perhatian dalam rangka meningkatkan aspek distance to transit adalah aksesibilitas simpul transit dengan membenahi fasilitas pejalan kaki dan fasilitas penunjangnya. Terakhir untuk aspek destination accessibility peningkatan yang perlu dilakukan untuk peningkatannya dapat melakukan pendekatan yang sama dengan aspek diversity yaitu diversifikasi penggunaan lahan.
Tulisan selengkapnya dapat dilihat pada file berikut.
Comments